Cerpen yang aku tulis berjudul 'Kisah Langit Empat Warna' masuk 10 finalis. Wahhh....senanglah aku, meskipun tidak juara satu. Hihihi....
Gosipnya 10 cerpen ini akan dijadikan buku antologi. Gambar yang rencananya akan dijadikan covernya pun sempat dipublish di media sosial. Kata PJ nya pernah terbit, tetapi sudah tidak lagi. Hemmm...sepertinya aku yang tidak update. Semoga saja sih nanti ada penerbitan ulang.
Berharap...
Tiga tahun berlalu, aku tidak mendengar kabar lagi tentang antologi buku ini tentang penerbitan ulangnya. Jadi, yang penasaran sama cerpen kisah langit empat warna aku publish di sini ya. Semoga suka...:D
Kisah Langit Empat
Warna
Oleh Windra Yuniarsih
Arka.
“Kau suka sekali dengan
lagu berbahasa Korea.”
Apa yang kau katakan membuatku
tersenyum.
“Apa aneh?” tanyaku
penasaran dengan anggapanmu tentangku. Kau menggeleng sambil menatap layar
monitor di hadapanmu. Kau selalu asik dengan imaginasimu.
Aku tidak yakin
gelengan kepalamu benar-benar menjawab kalau aku bukan pria aneh yang gemar
dengan musik Korea. Mungkin saja di sudut otakmu entah di neuron bagian mana,
kau sempat berpikir aku ini tidak sepenuhnya pria normal, banci atau biseksual
mungkin.
“Kapan novelmu terbit,
Ken?” Aku mencoba memecah fokusmu. Menggodamu dengan pertanyaan yang sangat tak
kau sukai. Kau mengalihkan pandanganmu padaku. Akhirnya aku berhasil menarik
perhatianmu setelah satu jam seolah mengobrol dengan dinding.
“Kau sendiri kapan ke
Korea?”
“Aku?! Tidak lama lagi.
Tunggu saja kabar baiknya.” Aku sangat percaya diri karena aku memang sedang
menyiapkan beberapa persyaratan untuk pertukaran pelajar ke universitas di
Korea.
“Benarkah?” Tatapan
mata sipitmu menyelidik. Kau menghela napas lalu melepas kacamata minusmu.
Membersihkan lensanya dengan tisu lalu memasangnya lagi.
“Aku tidak bohong,” jelasku.
“Aku tahu,” ucapmu dan kau tersenyum, ”Aku akan menunggu hari itu tiba. Hari kedamaian ketika kau
telah pergi ke Korea, tidak menggangguku lagi. Mungkin saat itu aku bisa
meyelesaikan novelku.”
“Apa kau benar-benar
terganggu karenaku?” Aku merasa sakit mendengar pengakuanmu, “ Keni, bukankah
kita BFF, Best friends forever1?” tanyaku.
Tanpa sadar sepertinya aku
menuunjukkan wajah yang sangat aneh. Kau menatap langsung ke mataku. Aku
merasakan ada aliran listrik sesaat saat bola mataku dan kau bertemu.
“BFF. Benar, tetapi kau
dan aku tidak mungkin selamanya tetap bersama kan? Dan lagi mimpi kita sudah
berbeda dari awal. Kau ingin melanjutkan S-2 ke Korea dan aku ingin traveling2
ke Jepang.” Keni mengambil napas dan menghembuskannya, “Tapi satu yang
tidak akan berubah, label BFF tidak akan pernah lepas. Kita akan tetap
berteman, selamanya seperti katamu, di jalan cita masing-masing.”
Aku tersenyum mendengar
ucapanmu. Entah karena kau pandai berkata-kata atau karena aku memang
menyukaimu. Kalimatmu selalu bisa menenangkanku dan membuatku begitu senang.
***
Keni.
Bulan September awal
dari semester baru perkuliahanku di tingkat tiga. Awal dari musim baru. Mulai
ada tanda-tanda rinai hujan akan segera jatuh, setelah dilanda kemarau panjang.
Setidaknya langit menunjukan berbagai tanda itu. Ketika matahari lebih suka
bersembunyi di balik awan. Awan putih terbang jauh entah ke mana. Mungkin ke
tempat kau berada karena di kota ini hanya tertinggal gumpalan hitam yang
menyedihkan. Ketika cuaca di negeri ini semakin tidak sesuai ramalan akibat
pemanasan global. Setidaknya mungkin di kotamu kini, di negeri jauh di sana,
musim yang tak pernah kujumpai dan mungkin baru kali ini kau temui telah
menyapamu lembut. Guguran daun yang warna warni. Aku juga ingin melihatnya,
tetapi di negeri yang berbeda dengan negeri yang kau datangi sekarang.
Tidak terasa sudah dua
minggu kau pergi meninggalkan kota ini. Pergi jauh menyeberang samudra menuju
negeri impianmu. Selama tiga bulan kau akan di sana. Tiga bulan kau akan
tinggal di Korea Selatan tepatnya di Suwon. Kau berhasil ikut pertukaran
pelajar ke Ajou University. Arka, kau sungguh hebat.
Aku menghela napas.
Sunyi, tidak ada yang menggangguku. Sepi, tidak ada suara sumbangmu yang selalu
menyanyikan lagu soundtrack drama korea kesukaanmu. Dan kini aku
tertinggal di sini.
Aku tidak mau kalah
denganmu. Satu kesempatan datang padaku. Aku membaca sebuah pengumuman di salah
satu kolom di majalah yang sering kubaca pagi tadi. Ada sebuah lomba menulis. Aku berniat mengikuti lomba ini di mana hadiahnya adalah tiket ke Jepang
pulang pergi ditambah uang saku. Hadiah yang menggiurkan. Namun, untuk mengawali
sebuah kata saja sangat sulit. Aku masih menatap layar monitor. Kosong dan
putih, tidak ada noda atau ketikan huruf yang membentuk kata ataupun kalimat
sederhana. Sekakmat! Bila ini permainan catur. Sekarat! bila aku
diibaratkan penyakitan. Andai kau ada di sini, Arka…
Kali pertama aku sangat
membutuhkanmu dan merindukanmu. Lebih tepatnya aku merasa kehilangan. Ruang
imaginasiku pun menyempit tidak seperti yang aku bayangkan. Aku baru meyadari
tulisanku lahir karena kau ada di sisiku. Kau bukan penghambatku, tetapi kau
yang menginspirasiku.
Aku mengirim pesan melalui
email dengan smartphone-ku, "Arka, bisakah aku mendengar suaramu?”
***
Arka.
“Inikah musim gugur di
negeri ini?” ucapku, lebih pada diri sendiri. Aku Arka.
Baru pertengahan
September, tetapi warna dedaunan sudah mulai berubah. Aku membaui aroma udara di sekitar. Merasai
dedaunan yang berguguran menyentuh wajahku. Terkesan norak, tetapi sungguh
menakjubkan.
Beberapa hari di sini,
sudah ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, Keni. Namun, jadwalku di
sini sangat padat. Lagipula aku tahu kau pasti sedang berbahagia karena tidak
ada yang mengganggumu lagi.
“Arka, handphone-mu
bunyi terus tuh,” seru teman sekamarku.
Aku meninggalkan benda
kecil itu di kamar. Sejak aku di sini handphoneku sangat sepi. Jadi, aku tidak
terlalu suka membawanya. Siapa yang menghubungiku? Mugkinkah? Aku tidak mau
terlalu berharap.
”Arka, bisakah aku
mendengar suaramu?” Isi pesan dari Keni untukku.
Aku tidak salah
membacanya bukan? Kau mengirimiku pesan.
Aku pun tersenyum senang
sampai-sampai teman sekamarku Shota, mengangkat alisnya dan bertanya-tanya apa
yang sedang terjadi padaku?
***
Keni.Aku menurunkan harga
diriku di depanmu hanya karena merindukanmu. Kau menjawab keinginanku dengan
begitu cepat. Melalui skype, kau dan aku menghabiskan berjam-jam hanya
untuk bercerita tentang pengalamanmu di sana: teman-teman barumu dari berbagai
negara, universitas tempatmu belajar, orang-orang di sana, musim gugur yang
begitu cantik dengan aneka warna dedaunan yang berbeda dari coklat, oranye,
kuning, dan merah. Seolah aku sedang di sana bersamamu. Aku pun akhirnya
mendapatkan inspirasi untuk tulisanku dengan mendengar kisahmu.
Aku merasa beruntung
memiliki sahabat sepertimu. Aku juga ingin mewujudkan mimpiku dengan caraku
sendiri.
“Jepang, I am coming3!”
Seruku pada langit-langit kamar, "Pasti menang, harus menang!” Ucapanku lebih
seperti ungkapan doa ketika mengirimkan naskah tulisanku melalui email.
***
“Keni, Bukannya Arka
balik ya dari Korea. Kok kamu murung gitu?” Aku memandang muka Ema dan berujar, "Aku nggak menang....”
Ema terlihat
kebingungan. Aku tidak mejawab pertanyaannya malah mengoceh hal yang tak
berhubungan sama sekali. Meskipun, aku merasa itu sangat berhubungan dengan
kepulangan Arka.
“Ke Jepangnya gagal
dong, Ken,” goda Ema. Otaknya cukup smart juga karena mengerti apa yang
aku maksud meskipun membutuhkan beberapa detik untuk mencerna apa yang
kuucapkan. Aku menunduk, mengambil tas
ranselku lalu beranjak dari sana. meninggalkan Ema di perpustakaan sendiri.
Di depan pintu perpustakaan
aku melihat Arka sedang asik mengobrol dengan beberapa adik tingkat kami.
Mereka terlihat tertarik dengan pengalaman Arka selama di Korea. Deretan
pertanyaan ditujukan ke Arka sepertinya dia kewalahan menjawabnya.
Beruntung
dia tidak melihatku. Aku langsung pergi meninggalkan gedung. Pulang.
Hari
yang melelahkan.
***
Arka.Tas ransel coklat yang
selalu menampung muatan melebihi kapasitasnya itu adalah milikmu. Aku tidak
pernah salah mengenalimu meskipun dari arah belakang. Namun, kau sama sekali tidak
menegurku. Mengucapkan basa basi selamat datang atau meminta oleh-oleh yang
sering kau lakukan, meskipun aku hanya pergi ke kota sebelah pun tidak. Sekarang
aku baru pulang dari negeri seberang kau malah acuh tak acuh. Bukankah kita best
friend forever, Keni?
Ema keluar dari
perpustakaan. Dia langsung melambai ke arahku. Aku balik melambaikan tangan.
Terima kasih padanya aku bisa lepas dari adik-adik tingkatku dengan beralasan
ada urusan dengan Ema.
“Apa yang terjadi
dengan, Keni?” tanyaku pada Ema.
“Dia gagal ke Jepang,” ucap Ema datar.
“Hah? maksudmu lomba
menulis yang waktu itu, sudah ada pengumumannya. Dan dia tidak menang. Hahaha…”
Entah kenapa aku malahan tertawa. Di sudut hati terdalam aku merasa lega karena
kau tak menyapaku bukan karena marah padaku, tetapi karena memang sedang
bersedih.
“Hei…, apa kau benar
sahabat baik Keni. Bila dia tahu kau tertawa sepuas ini. Aku tidak tahu apa
yang akan dilakukannya?” ucap Ema prihatin.
“Sory, Aku hanya
tidak habis pikir dia begitu terobsesi dengan Jepang.”
“Kau sendiri tidak
bercermin. Keni kan bayanganmu di dalam cermin. Kalian tuh sama meskipun
mimpinya berbeda, tetapi sama-sama gila dengan fokus kegilaannnya
masing-masing.”
“Setidaknya aku kan
realistis dan mimpiku tidak sekedar mimpi, tapi sudah menjadi nyata.”
“Okay…okay…, setidaknya
ajarkan pada Keni bagaimana mengubah mimpi menjadi nyata agar dia tidak
tenggelam dalam samudra khayalannya.”
“Pasti!” ucapku yakin.
****
Keni.“Ken…hadiah
untukmu.”
Aku
menerima kotak berwarna merah muda dihias pita biru yang cantik. Arka
memberikannya langsung padaku.
“Aku
buka ya….”
Arka
mengangguk.
Tidak
aku duga. Isinya hanya selembar daun yang tidak aku tahu namanya, warnanya
merah berbentuk bintang. Ekspresiku berubah kecut. Bibirku manyun ke depan,
sepertinya Arka menyadarinya.
“Itu
daun pohon maple. Kau tidak tahu? Katanya suka banget sama Jepang masa nggak
tahu kalau daun pohon maple di kebudayaan Jepang memiliki harga yang sama
dengan bunga mawar.“
Aku
tersipu mendengar penjelasan Arka. Dia melanjutkan kalimatnya.
“Kau
mungkin akan menemukannya di beberapa negara dengan 4 musim terutama saat musim
gugur warnanya sangat cantik seperti ini. Bentuknya seperti bintang. Anggaplah
itu impian yang ingin kau genggam, Keni. Korea, Jepang, atau negeri di daratan
Eropa, di manapun itu, kau ataupun aku pasti bisa ke sana memetik daun seperti
ini lagi di musim yang sama tahun depan setelah kita lulus kuliah S-1. Kita
akan beranjak ke negeri di mana daun ini ada. Jangan batasi mimpimu hanya untuk
liburan atau jalan-jalan. Mencari ilmu bukankah akan lebih bermanfaat bagimu
ataupun orang-orang sekitarmu nanti?”
Aku
tidak percaya Arka akan mengatakan hal seperti ini padaku. Aku tidak tahu harus
menanggapinya seperti apa.
“Aku
bertemu banyak orang saat di Korea. Kau pasti sudah tahu itu. Satu yang
membuatku tertarik, dia berasal dari Jepang. Kami cukup dekat. Kami bertukar
banyak cerita tentang negeri masing-masing. Mungkin aku sedikit memahami kenapa
kau ingin pergi ke negeri sakura itu. Aku sudah memutuskan. Keni, Aku ingin
melanjutkan study S2-ku di Jepang.”
“Apa
dia perempuan?” Aku merasa konyol dengan bertanya hal konyol.
“Dia
laki-laki namanya Shota. Jangan berpikir tidak-tidak!”
Aku
tersenyum karena sekilas wajah Arka memerah.
“Aku
hanya tertarik dengan negerinya. Aku tidak tertarik dengannya aku bukan
laki-laki seperti itu.” Aku tidak tahu apa yang ingin Arka jelaskan. Dia terus
berbicara berputar-putar.
“Aku
menyukaimu, Keni.” Kalimat Arka terakhir berhasil membuat jantungku berhenti
berdetak sesaat.
“Karena
itu aku ingin mengajakmu menuntut ilmu bersama ke negeri impianmu, Jepang.
Maukah kau berjuang bersamaku?”
“Apa
kau sedang melamarku?” Aku berpura-pura tidak mengerti.
Arka
mengangguk sambil tersipu malu. Dia mengusap rambutnya, membenarkan kacamatanya
dengan jari telunjuknya. Sekarang aku tahu, Arka benar-benar gugup.
“Lihat
daun maplenya baik-baik, sisinya ada delapan,” ucap Arka mencairkan suasana
canggung di antara kami.
“Apa
itu penting?” tanyaku polos sambil menatap daun maple berwarna merah di
tanganku.
“Tidak,
hanya saja aku mencari daun ini susah payah. Jadi, kau harus menyimpannya baik-baik.”
Aku
tidak mengerti maksud dari kata-katanya. Bukankah di musim gugur daun ini
harusnya sangat banyak di Korea? Namun, Arka mengatakannya dengan wajah yang
serius. Padahal tanpa dia minta pun sebenarnya aku akan menyimpannya.
***
Keni.Kereta
api shinkansen melaju bagai kilat meskipun tak secepat kecepatan cahaya.
Dadaku masih saja berdesir menaiki kereta yang selalu ada di khayalanku ini.
Membutuhkan dua tahun lamanya sejak janji suciku dengan Arka untuk sampai di
sini: Jepang. Tidak sesuai dengan target yang kami buat. Banyak rintangan.
Aku
dan Arka mendapatkan beasiswa di Universitas Kyoto. Sudah Berjalan satu
semester. Dua musim sudah kami lewati. Sekarang musim panas pertamaku bersama
kekasih sejatiku, my best friends forever.
“Apa
yang kau lamunkan?”
“Aku
hanya sedang bersyukur,” ucapku.
Arka
tersenyum, mengusap kepalaku yang dilapisi hijab biru sebiru musim panas di
Jepang.
“Terima kasih
sudah menemaniku berjalan-jalan,” ucapku lagi.
“Aku tahu karena inilah
yang kau citakan. Hobi Travelingmu . Satu hal yang harus kuterima dan juga
kusukai darimu. Namun, cukup sekian liburan musim panasnya saatnya mengejar
ilmu lagi. ”
Aku mendesah. Arka
mencubit pipiku,” Tidak ada alasan untuk bermalas-malasan, ingat moto baru kita,
menuntut ilmu hingga ke lima Benua.”
“Siapa bilang itu moto
baru kita. Itu hanya motomu saja. Bukankah yang benar itu harusnya menuntut ilmu hingga
ke Negeri Cina seperti kata hadist Nabi?”
“Iya aku tahu.
Anggaplah itu sebuah analogi. Lagian aku
nggak mau hanya ke Negeri Cina saja. Jadi, kau nggak mau ikut?”
“Kalau traveling
aku mau.” Arka berdecak mendengarnya. Saat bersamaan kereta shinkasen sampai
di stasiun Kyoto.
Arka menggandeng
tanganku menerobos kerumunan orang keluar dari kereta. “Bukankah kehidupan yang
kita jalani sampai sini sudah bisa kau jadikan buku, Keni?” ujar Arka.
“Tentu saja, tinggal
menemukan penerbit yang mau menerbitkannya. Terima kasih kau telah mengajakku.
Terima kasih juga kau memberikan daun maple bersisi delapan karena sekarang aku di
sini bersama cinta sejatiku. Hontou ni arigatou4,” ucapku
lembut sekaligus bersemangat.
“Aku yang harus
berterima kasih karena kau menerimaku dan percaya padaku.” Genggaman tangannya
semakin erat. Kami melangkah di jalanan Kyoto menikmati sisa musim panas kami.
TAMAT
Catatan:Best
friends forever1 : sahabat
terbaik selamanya
Traveling2 : bepergian
I am coming3 : aku datang
Hontou ni arigatou4 : terimakasih banyak
Tidak ada komentar: