Kisah Langit Empat Warna

Pada akhir tahun 2014 aku mengikuti sebuah event lomba cerpen bertema 'Berburu cita-cita' yang diselenggarakan oleh Ema Elyanasari.

Cerpen yang aku tulis berjudul 'Kisah Langit Empat Warna' masuk 10 finalis. Wahhh....senanglah aku, meskipun tidak juara satu. Hihihi....

Gosipnya 10 cerpen ini akan dijadikan buku antologi. Gambar yang rencananya akan dijadikan covernya pun sempat dipublish di media sosial. Kata PJ nya pernah terbit, tetapi sudah tidak lagi. Hemmm...sepertinya aku yang tidak update. Semoga saja sih nanti ada penerbitan ulang.
Berharap...


Tiga tahun berlalu, aku tidak mendengar kabar lagi tentang antologi buku ini tentang penerbitan ulangnya. Jadi, yang penasaran sama cerpen kisah langit empat warna aku publish di sini ya. Semoga suka...:D

Kisah Langit Empat Warna
Oleh Windra Yuniarsih
Arka.
 
“Kau suka sekali dengan lagu berbahasa Korea.”
Apa yang kau katakan membuatku tersenyum.
“Apa aneh?” tanyaku penasaran dengan anggapanmu tentangku. Kau menggeleng sambil menatap layar monitor di hadapanmu. Kau selalu asik dengan imaginasimu.
Aku tidak yakin gelengan kepalamu benar-benar menjawab kalau aku bukan pria aneh yang gemar dengan musik Korea. Mungkin saja di sudut otakmu entah di neuron bagian mana, kau sempat berpikir aku ini tidak sepenuhnya pria normal, banci atau biseksual mungkin.
“Kapan novelmu terbit, Ken?” Aku mencoba memecah fokusmu. Menggodamu dengan pertanyaan yang sangat tak kau sukai. Kau mengalihkan pandanganmu padaku. Akhirnya aku berhasil menarik perhatianmu setelah satu jam seolah mengobrol dengan dinding.
“Kau sendiri kapan ke Korea?”
“Aku?! Tidak lama lagi. Tunggu saja kabar baiknya.” Aku sangat percaya diri karena aku memang sedang menyiapkan beberapa persyaratan untuk pertukaran pelajar ke universitas di Korea.
“Benarkah?” Tatapan mata sipitmu menyelidik. Kau menghela napas lalu melepas kacamata minusmu. Membersihkan lensanya dengan tisu lalu memasangnya lagi.
“Aku tidak bohong,” jelasku.
“Aku tahu,” ucapmu dan kau tersenyum, ”Aku akan menunggu hari itu tiba. Hari kedamaian ketika kau telah pergi ke Korea, tidak menggangguku lagi. Mungkin saat itu aku bisa meyelesaikan novelku.”
“Apa kau benar-benar terganggu karenaku?” Aku merasa sakit mendengar pengakuanmu, “ Keni, bukankah kita BFF, Best  friends forever1?” tanyaku.
Tanpa sadar sepertinya aku menuunjukkan wajah yang sangat aneh. Kau menatap langsung ke mataku. Aku merasakan ada aliran listrik sesaat saat bola mataku dan kau bertemu.
“BFF. Benar, tetapi kau dan aku tidak mungkin selamanya tetap bersama kan? Dan lagi mimpi kita sudah berbeda dari awal. Kau ingin melanjutkan S-2 ke Korea dan aku ingin traveling2 ke Jepang.” Keni mengambil napas dan menghembuskannya, “Tapi satu yang tidak akan berubah, label BFF tidak akan pernah lepas. Kita akan tetap berteman, selamanya seperti katamu, di jalan cita masing-masing.”
Aku tersenyum mendengar ucapanmu. Entah karena kau pandai berkata-kata atau karena aku memang menyukaimu. Kalimatmu selalu bisa menenangkanku dan membuatku begitu senang.
***

Keni.

Bulan September awal dari semester baru perkuliahanku di tingkat tiga. Awal dari musim baru. Mulai ada tanda-tanda rinai hujan akan segera jatuh, setelah dilanda kemarau panjang. Setidaknya langit menunjukan berbagai tanda itu. Ketika matahari lebih suka bersembunyi di balik awan. Awan putih terbang jauh entah ke mana. Mungkin ke tempat kau berada karena di kota ini hanya tertinggal gumpalan hitam yang menyedihkan. Ketika cuaca di negeri ini semakin tidak sesuai ramalan akibat pemanasan global. Setidaknya mungkin di kotamu kini, di negeri jauh di sana, musim yang tak pernah kujumpai dan mungkin baru kali ini kau temui telah menyapamu lembut. Guguran daun yang warna warni. Aku juga ingin melihatnya, tetapi di negeri yang berbeda dengan negeri yang kau datangi sekarang.
Tidak terasa sudah dua minggu kau pergi meninggalkan kota ini. Pergi jauh menyeberang samudra menuju negeri impianmu. Selama tiga bulan kau akan di sana. Tiga bulan kau akan tinggal di Korea Selatan tepatnya di Suwon. Kau berhasil ikut pertukaran pelajar ke Ajou University. Arka, kau sungguh hebat.
Aku menghela napas. Sunyi, tidak ada yang menggangguku. Sepi, tidak ada suara sumbangmu yang selalu menyanyikan lagu soundtrack drama korea kesukaanmu. Dan kini aku tertinggal di sini.
Aku tidak mau kalah denganmu. Satu kesempatan datang padaku. Aku membaca sebuah pengumuman di salah satu kolom di majalah yang sering kubaca pagi tadi. Ada sebuah lomba menulis. Aku berniat mengikuti lomba ini di mana hadiahnya adalah tiket ke Jepang pulang pergi ditambah uang saku. Hadiah yang menggiurkan. Namun, untuk mengawali sebuah kata saja sangat sulit. Aku masih menatap layar monitor. Kosong dan putih, tidak ada noda atau ketikan huruf yang membentuk kata ataupun kalimat sederhana. Sekakmat! Bila ini permainan catur. Sekarat! bila aku diibaratkan penyakitan. Andai kau ada di sini, Arka…
Kali pertama aku sangat membutuhkanmu dan merindukanmu. Lebih tepatnya aku merasa kehilangan. Ruang imaginasiku pun menyempit tidak seperti yang aku bayangkan. Aku baru meyadari tulisanku lahir karena kau ada di sisiku. Kau bukan penghambatku, tetapi kau yang menginspirasiku.
Aku mengirim pesan melalui email dengan smartphone-ku, "Arka, bisakah aku mendengar suaramu?”
***

Arka.

“Inikah musim gugur di negeri ini?” ucapku, lebih pada diri sendiri. Aku Arka. 
Baru pertengahan September, tetapi warna dedaunan sudah mulai berubah.  Aku membaui aroma udara di sekitar. Merasai dedaunan yang berguguran menyentuh wajahku. Terkesan norak, tetapi sungguh menakjubkan.
Beberapa hari di sini, sudah ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, Keni. Namun, jadwalku di sini sangat padat. Lagipula aku tahu kau pasti sedang berbahagia karena tidak ada yang mengganggumu lagi.
“Arka, handphone-mu bunyi terus tuh,” seru teman sekamarku.
Aku meninggalkan benda kecil itu di kamar. Sejak aku di sini handphoneku sangat sepi. Jadi, aku tidak terlalu suka membawanya. Siapa yang menghubungiku? Mugkinkah? Aku tidak mau terlalu berharap.
”Arka, bisakah aku mendengar suaramu?” Isi pesan dari Keni untukku.
Aku tidak salah membacanya bukan? Kau mengirimiku pesan.
Aku pun tersenyum senang sampai-sampai teman sekamarku Shota, mengangkat alisnya dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi padaku?
***
Keni.
Aku menurunkan harga diriku di depanmu hanya karena merindukanmu. Kau menjawab keinginanku dengan begitu cepat. Melalui skype, kau dan aku menghabiskan berjam-jam hanya untuk bercerita tentang pengalamanmu di sana: teman-teman barumu dari berbagai negara, universitas tempatmu belajar, orang-orang di sana, musim gugur yang begitu cantik dengan aneka warna dedaunan yang berbeda dari coklat, oranye, kuning, dan merah. Seolah aku sedang di sana bersamamu. Aku pun akhirnya mendapatkan inspirasi untuk tulisanku dengan mendengar kisahmu.
Aku merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Aku juga ingin mewujudkan mimpiku dengan caraku sendiri.
“Jepang, I am coming3!” Seruku pada langit-langit kamar, "Pasti menang, harus menang!” Ucapanku lebih seperti ungkapan doa ketika mengirimkan naskah tulisanku melalui email.
***
“Keni, Bukannya Arka balik ya dari Korea. Kok kamu murung gitu?” Aku memandang muka Ema dan berujar, "Aku nggak menang....”
Ema terlihat kebingungan. Aku tidak mejawab pertanyaannya malah mengoceh hal yang tak berhubungan sama sekali. Meskipun, aku merasa itu sangat berhubungan dengan kepulangan Arka.
“Ke Jepangnya gagal dong, Ken,” goda Ema. Otaknya cukup smart juga karena mengerti apa yang aku maksud meskipun membutuhkan beberapa detik untuk mencerna apa yang kuucapkan.  Aku menunduk, mengambil tas ranselku lalu beranjak dari sana. meninggalkan Ema di perpustakaan sendiri.
Di depan pintu perpustakaan aku melihat Arka sedang asik mengobrol dengan beberapa adik tingkat kami. Mereka terlihat tertarik dengan pengalaman Arka selama di Korea. Deretan pertanyaan ditujukan ke Arka sepertinya dia kewalahan menjawabnya.
Beruntung dia tidak melihatku. Aku langsung pergi meninggalkan gedung. Pulang.
Hari yang melelahkan.
***
Arka.
Tas ransel coklat yang selalu menampung muatan melebihi kapasitasnya itu adalah milikmu. Aku tidak pernah salah mengenalimu meskipun dari arah belakang. Namun, kau sama sekali tidak menegurku. Mengucapkan basa basi selamat datang atau meminta oleh-oleh yang sering kau lakukan, meskipun aku hanya pergi ke kota sebelah pun tidak. Sekarang aku baru pulang dari negeri seberang kau malah acuh tak acuh. Bukankah kita best friend forever, Keni?
Ema keluar dari perpustakaan. Dia langsung melambai ke arahku. Aku balik melambaikan tangan. Terima kasih padanya aku bisa lepas dari adik-adik tingkatku dengan beralasan ada urusan dengan Ema.
“Apa yang terjadi dengan, Keni?” tanyaku pada Ema.
“Dia gagal ke Jepang,” ucap Ema datar.
“Hah? maksudmu lomba menulis yang waktu itu, sudah ada pengumumannya. Dan dia tidak menang. Hahaha…” Entah kenapa aku malahan tertawa. Di sudut hati terdalam aku merasa lega karena kau tak menyapaku bukan karena marah padaku, tetapi karena memang sedang bersedih.
“Hei…, apa kau benar sahabat baik Keni. Bila dia tahu kau tertawa sepuas ini. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya?” ucap Ema prihatin.
Sory, Aku hanya tidak habis pikir dia begitu terobsesi dengan Jepang.”
“Kau sendiri tidak bercermin. Keni kan bayanganmu di dalam cermin. Kalian tuh sama meskipun mimpinya berbeda, tetapi sama-sama gila dengan fokus kegilaannnya masing-masing.”
“Setidaknya aku kan realistis dan mimpiku tidak sekedar mimpi, tapi sudah menjadi nyata.”
Okay…okay…, setidaknya ajarkan pada Keni bagaimana mengubah mimpi menjadi nyata agar dia tidak tenggelam dalam samudra khayalannya.”
“Pasti!” ucapku yakin.
****
Keni.
“Ken…hadiah untukmu.”
Aku menerima kotak berwarna merah muda dihias pita biru yang cantik. Arka memberikannya langsung padaku.
“Aku buka ya….”
Arka mengangguk.
Tidak aku duga. Isinya hanya selembar daun yang tidak aku tahu namanya, warnanya merah berbentuk bintang. Ekspresiku berubah kecut. Bibirku manyun ke depan, sepertinya Arka menyadarinya.
“Itu daun pohon maple. Kau tidak tahu? Katanya suka banget sama Jepang masa nggak tahu kalau daun pohon maple di kebudayaan Jepang memiliki harga yang sama dengan bunga mawar.“
Aku tersipu mendengar penjelasan Arka. Dia melanjutkan kalimatnya.
“Kau mungkin akan menemukannya di beberapa negara dengan 4 musim terutama saat musim gugur warnanya sangat cantik seperti ini. Bentuknya seperti bintang. Anggaplah itu impian yang ingin kau genggam, Keni. Korea, Jepang, atau negeri di daratan Eropa, di manapun itu, kau ataupun aku pasti bisa ke sana memetik daun seperti ini lagi di musim yang sama tahun depan setelah kita lulus kuliah S-1. Kita akan beranjak ke negeri di mana daun ini ada. Jangan batasi mimpimu hanya untuk liburan atau jalan-jalan. Mencari ilmu bukankah akan lebih bermanfaat bagimu ataupun orang-orang sekitarmu nanti?”
Aku tidak percaya Arka akan mengatakan hal seperti ini padaku. Aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
“Aku bertemu banyak orang saat di Korea. Kau pasti sudah tahu itu. Satu yang membuatku tertarik, dia berasal dari Jepang. Kami cukup dekat. Kami bertukar banyak cerita tentang negeri masing-masing. Mungkin aku sedikit memahami kenapa kau ingin pergi ke negeri sakura itu. Aku sudah memutuskan. Keni, Aku ingin melanjutkan study S2-ku di Jepang.”
“Apa dia perempuan?” Aku merasa konyol dengan bertanya hal konyol.
“Dia laki-laki namanya Shota. Jangan berpikir tidak-tidak!”
Aku tersenyum karena sekilas wajah Arka memerah.
“Aku hanya tertarik dengan negerinya. Aku tidak tertarik dengannya aku bukan laki-laki seperti itu.” Aku tidak tahu apa yang ingin Arka jelaskan. Dia terus berbicara berputar-putar.
“Aku menyukaimu, Keni.” Kalimat Arka terakhir berhasil membuat jantungku berhenti berdetak sesaat.
“Karena itu aku ingin mengajakmu menuntut ilmu bersama ke negeri impianmu, Jepang. Maukah kau berjuang bersamaku?”
“Apa kau sedang melamarku?” Aku berpura-pura tidak mengerti.
Arka mengangguk sambil tersipu malu. Dia mengusap rambutnya, membenarkan kacamatanya dengan jari telunjuknya. Sekarang aku tahu, Arka benar-benar gugup.
“Lihat daun maplenya baik-baik, sisinya ada delapan,” ucap Arka mencairkan suasana canggung di antara kami.
“Apa itu penting?” tanyaku polos sambil menatap daun maple berwarna merah di tanganku.
“Tidak, hanya saja aku mencari daun ini susah payah. Jadi, kau harus menyimpannya  baik-baik.”
Aku tidak mengerti maksud dari kata-katanya. Bukankah di musim gugur daun ini harusnya sangat banyak di Korea? Namun, Arka mengatakannya dengan wajah yang serius. Padahal tanpa dia minta pun sebenarnya aku akan menyimpannya.
***
Keni.
Kereta api shinkansen melaju bagai kilat meskipun tak secepat kecepatan cahaya. Dadaku masih saja berdesir menaiki kereta yang selalu ada di khayalanku ini. Membutuhkan dua tahun lamanya sejak janji suciku dengan Arka untuk sampai di sini: Jepang. Tidak sesuai dengan target yang kami buat. Banyak rintangan.
Aku dan Arka mendapatkan beasiswa di Universitas Kyoto. Sudah Berjalan satu semester. Dua musim sudah kami lewati. Sekarang musim panas pertamaku bersama kekasih sejatiku, my best friends forever.
“Apa yang kau lamunkan?”
“Aku hanya sedang bersyukur,” ucapku.
Arka tersenyum, mengusap kepalaku yang dilapisi hijab biru sebiru musim panas di Jepang.
“Terima kasih sudah menemaniku berjalan-jalan,” ucapku lagi.
“Aku tahu karena inilah yang kau citakan. Hobi Travelingmu . Satu hal yang harus kuterima dan juga kusukai darimu. Namun, cukup sekian liburan musim panasnya saatnya mengejar ilmu lagi. ”
Aku mendesah. Arka mencubit pipiku,” Tidak ada alasan untuk bermalas-malasan, ingat moto baru kita, menuntut ilmu hingga ke lima Benua.”
“Siapa bilang itu moto baru kita. Itu hanya motomu saja. Bukankah  yang benar itu harusnya menuntut ilmu hingga ke Negeri Cina seperti kata hadist Nabi?”
“Iya aku tahu. Anggaplah itu sebuah analogi.  Lagian aku nggak mau hanya ke Negeri Cina saja. Jadi, kau nggak mau ikut?”
“Kalau traveling aku mau.” Arka berdecak mendengarnya. Saat bersamaan kereta shinkasen sampai di stasiun Kyoto.
Arka menggandeng tanganku menerobos kerumunan orang keluar dari kereta. “Bukankah kehidupan yang kita jalani sampai sini sudah bisa kau jadikan buku, Keni?” ujar Arka.
“Tentu saja, tinggal menemukan penerbit yang mau menerbitkannya. Terima kasih kau telah mengajakku. Terima kasih juga kau memberikan daun maple bersisi delapan karena sekarang aku di sini bersama cinta sejatiku. Hontou ni arigatou4,” ucapku lembut sekaligus bersemangat.
“Aku yang harus berterima kasih karena kau menerimaku dan percaya padaku.” Genggaman tangannya semakin erat. Kami melangkah di jalanan Kyoto menikmati sisa musim panas kami.
TAMAT
 
Catatan:Best friends forever1   : sahabat terbaik selamanya
Traveling2                    : bepergian
I am coming3               : aku datang

Hontou ni arigatou4     : terimakasih banyak


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.