Jatuh Hati dengan Tokoh Extra di Aroma Karsa



Judul                     : Aroma Karsa

Penulis                  : Dee Lestari

Penerbit                : PT Bentang Pustaka

Dimensi                : 710 hlm; 20 cm

Cetakan Ke-4     : November 2019

ISBN                       : 978-602-291-463-1

Aku tidak tahu memulai darimana, bila ingin bercerita tentang novel yang satu ini. Aroma Karsa! Sebuah judul novel yang membuat banyak orang berdecak kagum dan sempat mengantongi penghargaan Book of The Year 2018 dari ikatan penerbit Indonesia (IKAPI).

Ya, aku akui sangat terlambat bagiku baru membaca buku ini. Padahal sudah masuk daftar list sejak buku ini terbit. Belum berjodoh saja mungkin. Tepat hari ini 21 Mei 2020 aku akhirnya bisa menamatkannya. Padahal aku menerima buku ini 25 April yang lalu. Kebiasaan buruk memang, menimbun buku seperti ini. Jangan ditiru, ya. Hehe.

Beberapa minggu setelahnya, aku mencoba membaca bab-bab awal. Aku memang selalu suka dengan tulisan Mbak Dee. Penggambaran dan pemakaian diksinya memikat. Namun, aku tidak mau bercerita tentang kelebihan Mbak Dee yang sudah diakui itu. Aku hanya ingin mencurahkan hatiku sebagai pembaca yang agak sensitif. Bukan karena baik buruknya tulisan dan pengemasan cerita, tetapi karakter tokoh-tokoh di dalamnya.

Adakah di sini yang pernah jatuh hati atau membenci satu tokoh cerita tanpa alasan? Bisa juga dengan alasan yang aneh. Aku hampir selalu melakukannya. Ketika aku dipertemukan dengan tokoh Tanaya Suma munculah rasa tidak suka. Bukan karena penulisnya yang tidak baik menggambarkan dia, tetapi aku hanya tidak suka dengan tokoh ini. Aku langsung membencinya. Kalian jangan terpengaruh dengan ucapanku. Suma adalah salah satu tokoh utama di novel ini. Aku juga tidak mengerti dengan apa yang kupikirkan dan rasakan saat dikenalkan dengan tokoh Suma.

Kebetulan juga tokoh Suma ini bisa membenci salah seorang yang baru ditemuinya setengah mati. Orang yang dibawa Raras Prayagung, Ibunya Suma dari TPA Bantar Gebang karena menduplikasi parfum buatan Kemara- Puspa Ananta. Dia terobsesi dan membenci Jati sampai rela mengendap-ngendap ke tempat pribadinya untuk menguak rahasia paling pribadi Jati. Bedanya aku tidak terobsesi kepada Suma. Aku hanya tidak suka dengan karakternya.

Rasa tidak suka ini kembali dikuatkan ketika muncul tokoh Arya, sahabat Suma sejak kecil dan pacarnya sekarang. Instingku mengatakan sindrom second lead aku tidak pernah memudar. Aku tahu aku akan patah hati membaca ini karena aku menempatkan hatiku di tokoh yang salah. Bukan Arya tokoh utamanya. Dia hanya tokoh extra dalam novel ini. Percaya atau tidak aku meneteskan air mata pertama kali karena Arya. Luar biasa, aku tidak bisa mengontrol diriku hanya karena seorang tokoh extra.

Petikan dialog Arya yang membuatku pecah:

“Oke. Anggaplah kita pura-pura sedang nggak pacaran. Sebagai sahabatmu, aku akan bilang ’selamat’. Akhirnya kamu tahu rasanya jatuh cinta.”

“Sayangnya, kita sudah nggak di sana lagi. Kamu, pacarku Suma. Dan untuk itu aku harus bilang….” Kunci mobilnya diremas kuat-kuat. Arya bangkit berdiri, lalu meninggalkan kamar itu tanpa menoleh lagi.

-hal 471-

Scene Arya tidak begitu banyak di novel ini, tetapi dia berhasil mencuri hatiku sebagai pembaca novel ini. Kadang aku suka memperhatikan yang tidak terlalu diperhatikan orang lain. Itu menyakitiku, tetapi aku suka.

Dan satu ucapan Arya yang menghiburku,

“Nggak semua mimpi harus jadi kenyataan.”-462-

Bisa juga aku dibutakan oleh tokoh Arya, aku tidak peduli. Begitukah orang yang jatuh cinta? Pembaca yang jatuh cinta dengan tokoh dalam buku yang dibacanya.

Jadi, aku membaca novel ini dengan rasa marah kepada Suma dan Jati. Aku benar-benar marah sampai tidak peduli apa pun yang akan menimpa mereka. Ketika Raras mengajak Suma dan Jati ke Gunung Lawu untuk mencari Puspa Karsa. Aku sungguh tidak peduli dengan mereka. Di sisi lain aku penasaran dengan Puspa Karsa, bentuknya, keberadaannnya, dan perannya.

Kemudian munculah tokoh Iwan Satya, seorang ahli botani yang sangat menyukai anggrek. Dia ikut ekspedisi ke Gunung Lawu mencari puspa karsa. Kemunculannya bisa menghiburku yang marah. Aku tertawa akhirnya membaca dialog-dialog mas Iwan, sapaan akrabnya.

“Dua kilometer dari Hong Kong?”-hal 508-

“Macam GPS. Lengkap sekali layanan di sini. Kalau ada permadani terbang saya juga mau,” sahut iwan dengan napas terengah.” Berapa kilo lagi, Farid?” -512-

Dialog pendek yang mengundang tawaku. Apalagi saat dia memanggil Firman dengan Farid atau di lain waktu disebut Ferdi. Sayang sekali, nasibnya di buku ini tidak baik. Aku pun menjadi berpikir, andai Pak Iwan Satya ini tinggal di rumah kaca rumahnya saja, tidak tergoda bujukan Raras Prayagung ikut ekspedisi ke Gunung lawu mencari Puspa Karsa, hanya ingin membuktikan bunga ini tidak pernah ada. Kalau pun ada Pak Iwan selalu percaya Puspa Karsa adalah sejenis anggrek.

“Tidak sedahsyat itu kalau bukan anggrek.”-645-

Kehilangan tokoh ini, aku sungguh merasa kehilangan tokoh botani sesungguhnya. Aku sedih untuk kedua kalinya.

Meskipun aku mati rasa dengan tokoh Jati, Suma, Raras dan lebih menyukai tokoh-tokoh extra. Buku ini secara keseluruhan luar biasa.

Dari awal sudah banyak clue yang diberikan penulisnya tentang siapa Jati dan siapa Suma serta tokoh-tokoh lainnya yang membuat cerita semakin komplit. Apa hubungan mereka dengan puspa karsa dan obsesi keluarga Prayagung terhadap puspa karsa.  Kelebihan Jati dan Suma dengan indra penciumannya yang di atas normal.

Penulis pun bisa menggambarkan dengan baik berbagai varian aroma. Baik itu aroma biasa seperti bunga, tanaman sampai berbagai benda yang tidak lazim lainnya. Dan teka teki perlahan-lahan menemukan jawabannya di lembar demi lembar saat kamu membaca novel ini.

Apa kamu ingin tahu happy ending atau sad ending novel ini? Yang jelas aku mengakhirinya dengan tertawa meski tidak sampai terbahak, tapi aku tertawa. Aku sudah terlalu tersiksa di perjalanannya dan aku pun tidak peduli bila pun dunia dikuasai Puspa Karsa. Mungkinkah Puspa Karsa telah menjelma dan memengaruhi pembaca juga? Memengaruhiku…

6 komentar:

  1. Novel ini menjadi wishlistku sejak lama. Semakin pengen baca setelah baca ulasannya mbak Windra. Dee Lestari memang juara!

    BalasHapus
  2. Suka novel ini karena Gunung Lawu jadi salah satu setting lokasinya. Soalnya Gunung Lawu itu, gunung yang pertama kali aku daki, istimewa banget.

    BalasHapus
  3. Tulisan ini menggoda dan mempengaruhi alur pikirku sedikit. Perasaan tak sukamu pada suma nular ke aku hwkakakaa

    BalasHapus
  4. Jujur jd rindu nge-resensi. Nice resensi kak, ditunggu ulasan buku lainnya 😊

    BalasHapus
  5. Wah aku sudah baca novel ini beberapa tahun lalu dan suka sama novelnya. Kalau aku malah suka sama karakter extra yang di dunia gaib itu yang penjaga hutan temannya jati bening aku lupa namanya. Hehe

    BalasHapus
  6. Saya termasuk tipe pembaca cepat, jadi kalau baca buku dee harus diulang2 biar paham ceritanya

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.