Lingkaran dan Tanda tanya


         Sebuah cerpen yang telah aku tulis pada tahun 2010 dan berhasil memeluk juara 2 lomba cerpen Bilqis yang diselenggarakan oleh Keputrian dari Fakultas Farmasi Unpad. Tulisanku tujuh tahun yang lalu. Menurut kamu kamu yang suka baca cerpen-cerpen aku, Kalian suka tulisanku pada tahun berapa? Semoga sih suka semua,hehehe...

Lingkaran dan Tanda Tanya

Sebuah lingkaran yang penuh keakraban, kekeluargaan, dan kebahagiaan. Di sinilah sebuah awal perubahan. Perjalanan baru. Tidak semudah yang dibayangkan. Namun, Dia berani mencoba melangkah di jalan ini.
            Najla. Kakinya halus dan putih bagai boneka kaca di etalase toko yang berjalan. Setiap dia lewat, semua mata akan memandang. Itu dulu. Kini, hanya paras dan telapak tangannya yang masih bisa dipandang. Selain itu, rambut hitamnya yang panjang juga tidak dapat dinikmati lagi oleh teman-temannya. Banyak yang menyayangkan. Mengejek. Menghindar. Semua ini sempat membuat air mata bening menetes dari mata bulat Najla. Bukan air mata kesedihan, tetapi sebuah keprihatinan akan saudara seimannya yang lebih banyak ketidaktahuannya daripada rasa tahunya. Padahal IQ mereka kebanyakan di atas rata-rata. IQ memang tidak menjamin akhlak seseorang.
Sore itu. Rinai hujan menghiasi kampus di kawasan Jatinangor. Tetesan air dari langit jatuh bagai ditarik magnet besar bumi ini. Seperti biasa, Najla sangat menikmati suasana seperti ini. Dia melangkah begitu santai di bawah kanopi jalan kampus. Menikmati setiap tetesan yang kadang menciprat ke arah mukanya karena terbawa angin. Kedua tangannya kosong. Tas kecilnya tidak menunjukkan kalau dia membawa payung. Ketika sampai di ujung kanopi terakhir di bawah, dia berhenti. Menadahkan tangannya. Mengecek apa hujan itu dapat diterabas begitu saja atau dia harus menunggu beberapa lama di bawah kanopi terakhir. Dia memutuskan berdiam, menunggu hujan reda.
Seorang laki-laki yang melintas di depan gadis yang sedang berlindung di bawah kanopi tiba-tiba berhenti. Mengamati gadis itu. Mengangkat payungnya lebih tinggi agar penglihatannya jelas ke wajah  sang gadis. Gadis itu menyadari kehadiran laki-laki yang mengamatinya.
“Maaf, ada yang perlu saya bantu?” ujar gadis itu.
“Oh…kau Najla bukan?” sang laki-laki malahan balik bertanya.
Gadis itu terdiam. Berbalik mengamati laki-laki itu. Mencoba mengenalinya. Dan syaraf-syaraf di otaknya mengingatkannya akan kenangan tiga tahun lalu. Laki-laki itu mantan pacarnya saat SMA.
“Ya. Kau…”
Laki-laki  itu mengangguk dan tersenyum puas ternyata dia tidak salah mengenali seseorang yang pernah menjadi orang terpenting dalam hidupnya. Dan dia tahu gadis itu, Najla, juga mengenalinya.
“Kau berbeda, Na…”
“Apanya?”
“Penampilanmu.”
“Apa aneh aku berpenampilan seperti ini?”
“Cocok buatmu.”
Najla sedikit kaget mendengar komentar teman laki-lakinya. Dia selalu berpikir hanya teman-teman dalam lingkaran itu yang menganggapnya cocok berpenampilan seperti dirinya sekarang. Teman-teman mentoringnya yang menumbuhkan kepercayaan dirinya. Sedang keluarganya saja menganggapnya ganjil.
“Hujannya tidak berhenti-henti. Mau meminjam payungku?” tawar laki-laki itu.
“Kau gimana?” Najla ada rasa enggan untuk menerima..
“Aku kan cowok, hujan seperti ini bukan apa-apa.”
“Oh.. Terima kasih, tapi aku nunggu aja deh sampai berhenti hujannya.”
“Begitu. Anggaplah ini permintaan maafku atas kebahagiaan semu dulu. Kesalahan kita. Meski aku tahu hal seperti  ini tidak akan dapat membayarnya dengan lunas.”
Laki-laki itu meletakkan payungnya di depan Najla. Lalu, dia berlari menerabas hujan. Tanpa menengok atau membalas panggilan Najla. Akhirnya, Najla memakai payung itu untuk kembali ke kamar kosannya yang berjarak 200 meter dari kampus.
***
Ada keanehan dalam hati Najla. Bukan rasa cinta yang bersemi kembali setelah perpisahan itu. Sama sekali bukan. Sudah lama Najla melupakan kisah cintanya dulu. Permintaan maaf atas kebahagian semu itulah yang dia rasakan aneh. Kebahagiaan semu, dua kata yang begitu familier di telinga Najla.
“Na…Na!!!!”
“Eh…iya…”
“Apa yang kau lamunkan?”
“Kebahagiaan semu.” Teman baik Najla terdiam sejenak mendengar jawaban ‘kebahagiaan semu’.
“Apa kau pernah pacaran, Na.”
“Dari mana kau tahu?”
Air muka Najla begitu heran dan penasaran. Dia sama sekali tidak pernah bercerita tentang masa lalunya pada teman baiknya ini. Sekilas dia kembali ke masa-masa itu. Saat kali pertama dia merasa dimiliki oleh seseorang dan memiliki seseorang. Hanya satu tahun masa-masa itu. Sampai pada akhirnya kata ‘putus’ terucap dari mulut sang kekasih. Menangis berhari-hari pernah dia lakukan atas dasar cinta yang tak adil baginya saat itu. Sesuatu yang tidak dia mengerti kenapa kata itu sampai terucap.
Kilasan masa lalunya terputus. Ketika teman baiknya menjawab.
“Kebahagiaan semu.”
“Heh…”
“Aku ada kuliah. Kita sambung lain kali ya. Assalamualaikum.”
“Oh. Walaikumsalam….”
Sebuah tanya yang masih menggantung di pikiran Najla. Sesuatu yang belum dia tahu dan ingin sekali dia mengetahuinya. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang tidak tahu. Meskipun tahu itu datangnya dari yang di Atas sana. Dia benar-benar merasa bingung.
Seiring berjalannya waktu Najla melupakan tanda tanya di otaknya itu. Teman baiknya pun tak pernah menyinggungnya, mungkin lupa. Dan liburan kedua  sejak dia berhijab kini datang. Saatnya dia pulang menghadapi tatapan sinis dan tidak bersahabat keluarganya lagi. Dia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk itu. Bertahan dengan keyakinan dan idealismenya yang belum lama dia mulai.
***
“Assalamualaikum…,” ucap Najla pelan sebelum masuk ke dalam rumah. Tidak ada sahutan dari dalam. Dia pun memperkeras suaranya,”Assalamualaikum!” sama sekali tidak ada perubahan, sepi, begitu hening seolah tidak ada siapa pun di dalam rumah. Dengan kunci duplikat rumah yang dia miliki, pintu bisa dibuka.
Najla masuk ke dalam kamarnya yang kosong. Tanpa pernak pernik, boneka, gambar-gambar atau pun foto dirinya. Ruangan yang benar-benar hampa. Tidak ada keceriaan di dalamnya. Hanya ada satu kasur, lemari dan kursi meja belajarnya. Cukup menggambarkan keluarganya begitu sederhana. Sebenarnya tidak demikian. Semua barang-barang Najla diambil oleh ponakannya yang berusia enam tahun. dan lagi-lagi Najla tidak bisa membantah. Apalagi sejak dia berubah berjilbab, tidak ada satu anggota keluarga yang mendukung atau membelanya. Sama sekali tidak ada. Dia hanya bisa menghela napas dan memohon kesabaran lebih dari Tuhan.
Belum ada tanda-tanda keluarganya pulang. Najla merasa lapar. Dan dia pun ke ruang makan. Makan sendirian. Di tengah kunyahannya, dia mendengar pintu depan dibuka. Dan suara obrolan terdengar riang, orang dewasa seusai belanja, sepertiya. Pembicaraan tentang pakaian di etalase toko, sepatu cantik, dan barang-barang elektronik. Bibir mereka terdiam saat melihat Najla di ruang makan.
“Kau pulang.” Satu suara keluar dari sang Ibu.
Najla hanya menganguk.
“Kau tak punya mulut,” seru kakak perempuannya yang sibuk merapikan barang belanjaannya.
“Iya, aku pulang. Libur satu minggu,” jawab Najla ulang.
“Oh…,” komentar semuanya: Ibu, Kakak perempuan, Kakak ipar, dan Ayah pun berseru sama. Seperti paduan suara.
“Kau sudah tahu barang-barangmu kakak pindahin ke kamar Nara. Aku rasa kau tak membutuhkannya. Lagian kau jarang di rumahkan.”
“Iya,” jawab Najla singkat.
“Kau sekarang memakai kaus kaki di dalam rumah?” tanya Ayah yang tiba- tiba duduk di samping Najla. Memperhatikan penampilannya. Lebih rapi tepatnya lebih tertutup dari penampilan pertamanya memakai jilbab.
“Iya.” hening,  “Kaos kakinya bersih kok.”  Najla menambahkan, takut-takut dianggap kaos kakinya mengundang bau yang tidak sedap. Ayahnya hanya tersenyum. Kakak iparnya tak acuh. sedang kakak perempuan dan ibunya hanya tersenyum sinis.
Seusai makan Najla kembali ke kamarnya. Dia menghela nafas terbebas dari mereka. Dia merasa sesak di rumah sendiri. Tersudutkan. Dianggap orang yang ganjil dan aneh.
Najla tidak pernah berhenti berdoa agar keluarganya menerima perubahannya. Atau mungkin mengikuti jejaknya. “Apakah mungkin?” masih tanda tanya bagi Najla. Namun, dia yakin bahwa keluarganya akan masuk ke dalam lingkaran yang kini dia berada di dalamnya. Lingkaran kebenaran Tuhan yang tidak pernah diragukan kebenarannya. Kemuliaan seorang wanita ketika berhijab dan menjaga kehormatan dirinya.
Satu minggu berlalu dengan begitu lambat bagi Najla. Di detik kepulangannya semua terlihat tak acuh. Seolah dia datang begitu saja pergi pun terserah, tidak akan dicegah.
“Hati-Hati.” Dua kata yang keluar dari mulut sang ibu dari ambang pintu rumah. Cukup membuat Najla melelehkan air mata di pipinya. Dengan spontan dia memeluk ibunya. Dan sang ibu pun balik memeluk. Bagaimana pun juga dia tetap anaknya bukan. Sekeras apapun sikap seorang ibu. Tetap saja hatinya selembut sutera.
Najla pun kembali ke aktivitas kuliahnya.
***

“Ada apa Bu?  Seperti ada yang lagi dipikirin.” Suara ayah Najla memecah lamunan sang Ibu.
“Tidak. Ibu hanya heran sama Najla, Yah. Penampilannya berubah. Sikapnya berubah. Ibu sering mendengarnya mengaji malam-malam ketika dia pulang satu minggu kemarin. Suaranya begitu lembut meneduhkan. Padahal Ibu merasa tidak pernah mengajarinya. Tiba-tiba ada rasa bersalah menyelusup ke hati ibu. Ibu tidak bisa mengajari hal paling dasar bagi seorang muslim. Dia malahan belajar dari tempat lain.” Ibu terisak.
Ayah menghela napas dan tersenyum.
“Mungkin Najla adalah perantara untuk menyadarkan kita Bu. Kita terlalu larut dengan kehidupan duniawi. Ayah begitu menikmati pekerjaan ayah sehingga lupa ruhiyah perlu juga diisi.”
“Najla…,” ucap kedua orang tua itu yang tiba-tiba sangat merindukan anaknya.
“Najla sangat cantik kan, Yah,” ucap ibu.
“Iya. Putri kita begitu cantik dengan balutan kain di setiap bagian tubuhnya. Begitu memesona. Membuat yang memandangnya menghargainya.”
“Ibu ingin menemuinya, Yah.”
“Ayah juga.”
***
Bulan Oktober sering kali turun hujan. Tidak satu atau dua kali dalam sehari pasti hujan entah itu pagi, siang, atau bahkan sore dan malam hari. Membuat Najla mengubah kebiasaannya. Kini, dia lebih sering memakai tas ransel yang di dalamnya ada dua payung, miliknya dan milik laki-laki itu. Sejak pertemuan di bawah rintik hujan enam bulan lalu, tidak sekali pun mereka bertemu kembali. Takdirnya memang sudah digariskan seperti itu, mungkin, siapa yang tahu? Bahkan untuk mengembalikan satu payung pun begitu susah bagi Najla.
Di suatu siang yang mendung, matahari begitu malu menunjukkan diri, bersembunyi di balik awan hitam. Beberapa kali petir menggelegar padahal hujan belumlah jatuh ke permukaan tanah. Najla duduk menunggu angkutan dalam kampus yang sedang istirahat siang. Berbekal satu buku di tangannya, penantian seolah bukan pekerjaan yang menyebalkan. Dia asik menikmati setiap kata, kalimat, dan paragaraf yang menyusun buku itu menjadi satu rangkaian cerita yang menurutnya begitu membius. Di saat bersamaan seorang laki-laki melintas di depannya, lurus tidak peduli, mungkin tidak mengenali. Laki-laki itu begitu terburu-buru. Lari. Tidak melihat sekitar.
Najla melihat jam tangannya, pukul 12:50. Supir angkut terlihat sudah datang kembali. Dan Najla bersiap memasukkan bukunya ke dalam tas. Saat itu kertas pembatas bukunya terjatuh. Saat mengambilnya dia melihat ada benda lain di sampingnya, sebuah KTM, kartu tanda mahasiswa. Di KTM  itu bertuliskan, Arifian Nanda. Dahi Najla mengernyit. Terdiam. Mematung.
“Mba mau masuk ngga?”
“Eh..iya...”
Najla terkaget ketika ada mahasiswi lain yang akan naik angkutan juga. KTM itu dia simpan. Sekarang ada dua benda di tangannya milik orang yang sama. Dan masih dia tidak tahu cara mengembalikkannya.
Saat Najla sampai di kampus, barulah hujan turun dengan hebatnya. Dari balik kaca jendela Najla melihat pemandangan di luar yang disaput hujan diiringi angin. Dia menghela napas panjang salah satunya karena hujan yang begitu deras. Dan satu lagi dua benda yang entah harus dikemanakan.
“Kenapa, Na. mukanya kok mendung gitu?”
“Aku menemukan KTM nih.” Dengan tak acuh Najla memberikan KTM temuannya pada teman baiknya.
“Arifian nanda. Hemm…aku sih kenal orang ini.”
“Kamu kenal?”
“Yup. Mahasiswa tingkat tiga fakultas psikologi. Dua tahun di atas kita.”
“Benarkah…” Najla memang tidak tahu teman laki-lakinya itu dari fakultas psikologi.
“Biar aku aja yang balikin,” tawar teman baiknya.
“Oh..iya…” Seakan Najla terbebas dari tanggung jawab. Namun, dia lupa mash ada satu barang di tangannya. Payung.
***
“Na, gimana persiapan acaramu besok.”
“Beres! Tinggal eksekusi.”
“Kamu ini, emang apaan dieksekusi.” Najla hanya tersenyum membalas komentar salah satu seniornya.
Najla begitu sibuk mempersiapkan ini dan itu untuk acaranya besok. Dia begitu kelelahan. Sampai lupa makan padahal teman baiknya suka mengingatkannya. Dan juga ibunya yang beberapa minggu terakhir sering menghubunginya. Suatu hubungan baru yang mulai terjalin dengan keluarganya. Hubungan yang lebih manis.
Ayah bilang pada Najla, bahwa  ibunya telah memakai jilbab seperti diriya. Ibunya juga sering datang ke pengajian di masjid dekat rumahnya. Secara perlahan ibunya mulai mengerti dan memahami perubahan Najla karena dia pun melakukan hal yang sama.
Hari di mana acara Najla akan berlangsung. Peserta yang datang begitu banyak. Melebihi targetan. Berhubung acaranya free, di samping itu tema yang diangkat lagi panas-panasnya. Jadi, peminatnya pun banyak. Najla adalah penanggung jawab acara. Dia juga merangkap menjadi moderator. Karena dia terlalu fokus dengan acara. Dia tidak menyadari kalau ayah ibunya datang ke acara tersebut.
Acara selesai dengan sukses. Senyuman mengembang dari bibir Najla juga panitia lainnya. Mereka begitu puas dengan acara hari ini. Mengesankan!
“Najla…,” panggil  teman baiknya.
Najla menengok ke arah teman baiknya. Dan teman baiknnya menunjuk ke satu arah. Mata Najla mengikuti jari telunjuk itu hingga tepat tertuju pada dua orang yang sangat dicintainya. Ayah dan ibu. Mata Najla berkaca-kaca melihat kedua orang tuanya hadir di sana. Penampilan ibunya yang terlihat anggun. Kakinya membeku. Dan pipinya terasa panas. Hanya dalam hitungan detik air matanya jatuh. Ayah ibunya melangkah menghampiri Najla karena melihat tingkah putrinya yang sudah tidak terkontrol lagi. Memeluk putri cantiknya dengan lembut. Kasih sayang yang tertahan dalam beberapa bulan lalu, lumer, cair, tumpah dalam sekejap.
“Najla...” Dari arah pintu terdengar sapaan dari seseorang yang tidak asing, kakak perempuan dan iparnya.
“Kakak…”
Penampilan kakaknya pun berubah. Kini terbalut kerudung halus yang makin membuat kakaknya terlihat lebih cantik. Di sisinya suami kakaknya memeluk pundaknya. Tatapan mereka menunjukkan kata ‘Terima kasih’.
“Ngomong-ngomong dimana Nara? Tidak ikut?”
Mata ayah dan ibu melirik ke satu sisi lainnya. Dan di sana gadis kecil bergaun putih membawa setangkai mawar merah melangkah ke arah Najla,
“Tante happy birthday….”
Lengkap sudah kebahagiaan Najla hari ini. Ulang tahun yang dia lupakan diingatkan lagi oleh keluarganya. Momen yang pertama kali dia alami. Kehangatan keluarga. Teman-temannya bersorak ria atas kegembiraan Najla yang tidak tergantikan dengan apa pun. Akhirnya keluarganya masuk ke dalam lingkaran yang sama dengannya.
Semua bergembira.
***
Hari ini langit begitu cerah. Secerah hati Najla. Ulang tahunnya yang ke-18 begitu membekas. Satu minggu telah lewat, tapi masih ada rasa yang belum hilang. Kebahagiaan memiliki keluarga yang dicintai dan mencintainya. Sugguh luar biasa kehendak Tuhan itu.
Kuliah terakhir di hari ini. Najla buru-buru akan pulang. Besok akhir pekan. Seperti biasa setiap minggu dia kini pulang. kebiasaan barunya.
Tanpa sengaja ketika Najla akan keluar dari ruang kuliah menyenggol tas teman baiknya hingga isinya berserakan di lantai.
“Maaf,” ucap Najla.
“Tak apa, tapi bantu aku merapikannya.”
“Iya,” jawab Najla tidak ketinggalan senyumnya mengembang.
Di antara barang-barang temannya. KTM atas nama Arifian Nanda ikut tercecer. Najla mengambilnya. Dia menatap teman baiknya. Tidak ingin berburuk sangka. Dia pun bertanya.
“Kau belum mengembalikannya?”
“Itu…belum. Tidak bisa. Mungkin tidak perlu lagi untuknya.”
“Kenapa?”
“Dia sudah pergi.”
“Maksudmu sudah lulus? Katamu baru tingkat tiga.”
“Meninggal.”
“Apa?”
“Saat hujan deras beberapa minggu lalu. yang bercampur dengan angin yang begitu kencang. Hari dimana kamu menunjukan KTM itu. Hari itulah jiwanya diambil oleh sang Kuasa. Ketika dia menyeberang jalan di depan kampus kita. Tubuhnya terpelanting tertabrak mobil keluarga yang sedang melaju kencang.”
“Kenapa dia begitu buru-buru.”
“Ibunya datang menjenguknya. Dia mungkin ingin lekas bertemu dengan ibunya.”
“Harusnya dia lebih berhati-hati…”
Tiba-tiba saja hari yang cerah berubah jadi kelabu. Padahal langit begitu biru membentang di angkasa sana. Salah satu tanda tanya yang belum terjawab kembali muncul di otak Najla.
“Kebahagiaan semu? Kau belum menjelaskan padaku, tetapi, kenapa pergi?” batin Najla bergejolak, membantah kebenaran itu. Ada ketidakikhlasan karena ketidaktahuan di sana.
Di sebuah ruangan kecil Najla berbaring. Di kosannya. Dia mengurungkan diri untuk pulang, suasana hatinya kurang baik. Dia pun izin kepada keluarganya minggu ini tidak pulang.
Malam minggu, Najla habiskan waktu di kamar sendirian, mendengarkan radio Triple X,
“Pendengar sekalian apa itu ‘Kebahagiaan semu’. Salah satunya pacaran adalah kebahagiaan semu tepatnya kebahagiaan sesaat. Saat kita mengalaminya kita merasa bahagia padahal kita sedang mengumpulkan dosa yang luar biasa dibenci Allah. Para malaikat akan berkata,”kasihan manusia itu kebahagiaannya hanya semu belaka. Padahal dirinya sedang mengumpulkan derita dan kesedihan.” Begitulah pendengar radio Triple X. Dan Kebahagiaan itu bisa disebut kebahagiaan sejati ketika kita mensyukuri semua yang kita miliki dan mengikhlaskan yang telah pergi.”
“Jadi, begitu…. Maksud dari kebahagiaan semu,” ucap Najla pada dirinya sendiri. Dia tersenyum merelakan dan berterima kasih akhirnya tanda tanya itu terjawab. Berterima kasih telah masuk ke lingkaran yang benar.
“Terima kasih Tuhan,” ucap Najla, yang kemudian disambung,
“Terima kasih Arifian, kau telah menghentikkan kebahagiaan semu kita dulu. Hingga akhirnya aku menemukan satu kebenaran tentang kebahagiaan sejati dan cara menghargai diri sendiri. Islam yang mengajarkan bukan? Aku tahu meskipun kau tidak sempat memberi tahuku. Namun, Tuhan memberitahuku lewat perantaranya yang lain.”
TAMAT
: ( /^O^/ ; )

Ketika rinai hujan mengeluarkan nada-nada ketika bertemu dedauanan dan bebatuan, 13:04

14 November 2010

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.