Sepuluh Finalis lomba cerpen "Baper Maca"

Setahun lalu, bisa dikatakan sudah lama ya. Ada lomba mengarang cerita pendek Baper Maca yang diadain oleh Bale Pabukon Unpad.

Nominasi 10 besar naskah cerpen terbaik:
1. Mimpi - Andri Purnama Ramadhan.
2. Aku Bukan Simpanan - Ulrike Panjaitan.
3. Dongeng tentang buku, Mimpi, dan Waktu - Ananda Bayu Pangestu.
4. Buku Menjadi Barang Antik - Windra Yuniarsih.
5. Ikan Hiu Memotong Kuku - Dini Irmalinda.
6. Lakon Sitinurbaya - Nurasiyah Jamil.
7. Baghdad, Ketika dalam Damai - Hafizh Mohammad Noor Esa.
8. P.A.B.U.K.O.N Buku - Setia Rian Pramantara.
 9. Saat Mereka Mengeluhkannya - Retno Nurul Aisyah.
10. Semalam di Bangunan Tua - Hana Hanifah

Sumber dari sini

Lihat namaku ada di urutan 4. Horayyy....Lagi-lagi dulu aku telat info. Telat tahu pengumumannya. Katanya finalisnya akan daapt sertifikat loh... Sepertinya cuma aku yang ga dapet... Ya sudahlah...
Efek jadi miss lomba tapi kadang ga merhatiin pengumumannya kapan.


Aku kasih tunjuk cerpenku yang masuk nominasi ya.

Buku Menjadi Barang Antik
Oleh Windra Yuniarsih

         Ada seorang anak laki-laki. Dia tidak bisa membedakan pergantian ruang dan waktu. Kala dia diam sejenak seolah dunia yang dipijaknya begitu berbeda dari sebelumnya. Angin kadang berhenti bertiup membuat badannya kaku, terhipnotis oleh nuansa yang aneh.
Dimensi lain menunggu mungkin sedang menunggunya.
Ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hati anak itu. "Apakah aku normal? Mungkin dunia yang kutinggali yang tidak normal. Sering aku menghibur diriku dengan alasan-alasan yang seringnya di luar akal. Bertaut dengan kebiasaan lamaku. Pikiranku melayang menembus langit. Mataku beredar mengitari hamparan padang rumput yang kosong."
“Ini bukan dunia yang aku tinggali,” ucapnya lirih.
Anak laki-laki itu berdiri di tempat yang luas menyerupai lapangan sepak bola. Rumput tumbuh menyelimuti tanah datar membentuk karpet hijau yang indah. Jauh di batas horizon langit membatasi tanah yang dia jejaki.
Bola matanya berputar-putar. Banyak bintang beterbangan di atasnya. Padahal hari belum bisa disebut malam.Satu bintang meluncur jatuh ke kepala anak itu. Kilatan cahaya menerpa begitu hebat. Matanya berkedip. Ingatan terakhir yang masih terekam di otak kecilnya yaitu ketika dia menjatuhkan badan di rerumputan hijau. Sulur-sulur hijau memanjang, membekap badannya menjadi gulungan hijau. Dia terhisap ke dalam tanah. Mungkinkah dia masuk ke ruang waktu yang lain?
***
Ada sebuah ruangan yang cukup luas dipenuhi rak-rak bertatakan buku-buku tebal dari zaman ke zaman. Ruangan ini sangat jarang dikunjungi orang. Mungkin lebih mirip disebut museum daripada perpustakaan. Buku-buku di sini bagai pajangan yang menghiasi ruangan agar tidak kosong dan hampa. Interiornya hanya rak-rak tinggi sampai langit-langit. Tidak ada kursi ataupun ruang kecil untuk space membaca atau istirahat. Ruangan ini sering disebut ruang 49 oleh penduduk kota ini. Letaknya berada di pusat kota. Gedung paling tinggi dan bercahaya. Bila naik sampai lantai 49, di sinilah kumpulan buku-buku berada.
Ruang 49.
Misterius kesan pertama orang-orang terhadap ruangan ini tetapi ada seorang gadis yang lebih misterius dari ruangan ini. Mikan yang memiliki kebiasaan mengunjungi ruangan ini. Berjam-jam di dalamnya. Entah apa yang dilakukannya tidak ada yang tahu kecuali sahabat kecilnya: seekor burung parkit yang menemaninya ke mana pun dia pergi.
“Hari ini hari yang spesial. Aku berulang tahun. Jadi, tolong ambilkan buku paling bagus di ruangan ini, Naru. “
Naru terbang mengelilingi ruangan. Mikan mengikutinya. Burung kecil itu mematuk-matuk salah satu buku di barisan rak ketujuh. Deretan buku paling atas. Mikan harus menggeser tangga untuk meraihnya. Tangan kecilnya menarik buku bermotif aneh menyerupai batik.
Dimensi kubus. Tertulis dua kata itu di cover buku yang dia ambil. Saat dia menuruni tangga, kakinya tergelincir. Buku itu jatuh ke lantai. Lembaran-lembarannya terbuka. Ada cahaya yang keluar dari lembaran buku itu. Cahaya yang menyilaukan. Spontan Mikan memejamkan matanya dan Naru terbang berputar-putar di atasnya terlihat panik.
Perlahan Mikan membuka mata. Mengintip dengan sebelah matanya lalu kedua matanya terbuka ketika Dia melihat seorang anak-laki-laki terbaring pingsan di hadapannya
“Darimana datangnya anak ini?” tanyanya pada diri sendiri. Dia menggerak-gerakkan badan anak laki-laki itu. Tidak ada respon. Dia menempelkan telinganya di dada anak itu.
“Jantungnya masih berdetak,” ucapnya lega. Selain itu Mikan juga mengecek napas anak laki-laki itu dengan jarinya didekatkan ke lubang hidungnya. Ada aliran panas keluar dari lubang hidungnya artinya dia masih bernafas. Namun, dia tidak tahu harus diapakan lagi. Dia hanya menunggu di samping anak itu. Berharap anak itu akan membuka mata dan menjelaskan apa yang terjadi.
Menit demi menit berlalu Mikan tertidur di samping anak itu. Naru hanya megamati dari tempatnya bertengger.
Jemari anak laki-laki itu bergerak. Matanya membuka. Dia menyapu ruangan dengan mata sipitnya. Matanya tertahan pada sosok gadis kecil yang tertidur di sampingnya. Dahinya tertutup poni. Rambut panjangya terurai di lantai.
Tangan anak laki-laki itu ingin membangunkan Mikan, tetapi Naru salah paham. Naru menggigit punggung tangannya. Anak itu terkejut. Dan Mikan terbangun karena anak laki-laki itu berteriak.
“Kau siapa?” tanya Mikan sambil membenarkan posisinya dan rada menjauh dari anak laki-laki itu.
“Zetta.”
“Bagaimana kau bisa di sini?”
“Entahlah. Kau siapa?” tanya anak laki-laki itu.
“Mikan. Putri pemilik gedung ini,” ucap Mikan bangga.
Anak laki-laki itu tidak terlalu peduli dengan siapa Mikan. Dia terlihat begitu tertarik dengan ruangan tempat dia berada. Dia berada di lautan buku.
“Buku-buku ini milikmu?”
“Iya, maksudku tidak. Maksudnya keluargaku hanya bertugas untuk melindungi buku ini saja. Buku ini milik kota ini.”
“Kota ini?”
“Iya kota ini. Kota Kubus.” Mikan diam sejenak lalu melanjutkan,” Apa kau dari negeri dalam buku?” tanyanya penasaran.
Mikan memegang buku berjudul ‘Dimensi Kubus’.
“Kau keluar dari sini,” ucap Mikan. Laki-laki itu hanya tersenyum geli mendengar perkataan Mikan yang tidak masuk akal. Sorot mata Mikan serius. Naru pun ikut terlihat serius dengan suara merdunya dia perdengarkan beberapa kali.
Zetta ingin melihat isi buku yang Mikan pegang. Mereka melihatnya. Itu buku cerita bergambar. Gambar bangunan-bangunan di kota kubus. Kota di mana mereka berada sekarang.
“Bangunan ini?” Zetta menunjukka satu bangunan tinggi terlihat paling bersinar.
“Ini gedung Khayali. Tempat kita berada sekarang.”
“Aku harus keluar dari ruangan ini. Untuk menjernihkan otakku. Aku tidak ingat apa-apa kecuali namaku,” ucap Zetta santai seolah kejadian yang menimpa dirinya adalah hal yang biasa.
Mikan menunjukkan jalan keluar. Dan sukarela menjadi guide-nya.
***
"Kota kecil ini tidak pernah malam. Langit selalu bercahaya seperti kristal bening. Apa orang-orang yang tinggal di sini tidak pernah tidur? Seperi gadis di sebelahku, dia seolah tidak pernah merasa lelah. Fisiknya begitu lincah. Sifatnya periang. Dan dia selalu berpandangan positif. Kejadian yang paling aneh adalah aku berjalan di udara. Benar kalau kota ini disebut kota kubus. Aku merasa berada di sebuah kotak kubus yang menakjubkan. Tidak ada pepohonan hijau. Pohon-pohon bagai Kristal seperti pohon buatan untuk penghias ruangan. Entah darimana adanya oksigen. Aku tidak mengerti. Namun, ada aliran sungai yang jernih lengkap dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya," pikiran Zetta menyelidik.
"Aku memandang langit yang putih. Tidak berwarna. Aku rindu langit biru dan langit malam berbintang. Adakah tempat seperti itu di sini?," Zetta bertanya-tanya sendiri.
“Hai, Zet… Kau mau mendengar novel terbaru yang baru launching. Salah satu karya pendongeng paling terkenal di kota ini.”
“Mendengar?" Zetta terlihat bingung dengan pemilihan kata yang Mikan buat. 
Mikan menunjukkan kotak kubus kecil. Ada nomor di kotak itu. Dia menekan nomor-nomor itu. Rangkaian nomor rahasia. Tiba-tiba kotak kubus itu terbuka. Ada bola cahaya keluar dari dalamnya. Terdapat seseorang di dalamnya seperti layar TV. Orang di dalam bola itu mengucapkan rangkaian cerita.
“Gimana menurutmu?” tanya Mikan pada Zetta setelah beberapa menit berlalu.
“Menakjubkan, ” ucap Zetta.
“Terlalu menakjubkan.” Sorot mata sedih tersirat dari wajah polos Mikan.
“Kenapa? Bukankah menyenangkan kita tinggal mendengar. Tidak perlu cape-cape membaca kalimat yang panjang-panjang ampe ratusan halaman.”
“Kau tidak mengerti!” Mikan sangat marah. Sepertinya Zetta telah menyinggungnya. 
Namun, kota ini benar-benar menarik.
Mikan pergi meninggalkan Zetta.
***
“Ibu, aku rindu suaramu. Aku rindu Ibu.” Mikan mengigau tentang ibunya.
Suara emas paling indah di kota kubus ini adalah milik Amelia. Perempuan cantik yang telah melahirkan Mikan ke dunia ini. Suara itu terserap ke dalam alat canggih: kristal kubus. Penyimpan suara agar abadi buatan ayahnya sendiri. Namun, efek dari itu ibunya kehilangan suaranya. Bisu. Tidak lama kemudian ibunya meninggal saat uji coba penemuan baru ayahnya. Ibunya terkurung dalam kristal kubus beserta suara emasnya. Dan alat itu terkena virus. Lenyap. Alat itu telah membunuh ibunya. Meskipun pada akhirnya ayahnya menemukan cara yang lebih aman untuk menyimpan suara tetapi semua itu telah mengorbankan ibunya.
Masihkan ada harapan bagi Ibu Mikan hidup? Mungkin saja dia terjebak di dimensi kubus. Menurut Mikan tidak ada yang tahu atau mau tahu tentang peristiwa yang dialami ibunya.
Mikan tidak tahu betapa ayahnya menderita kehilangan istri terkasihnya.
***
“Dimensi kubus?Adakah pintu di mana langit bisa terbuka dan menemukanmu Amelia?” Seorang laki-laki setengah baya membolak-balik buku berharap menemukan tempat di mana istrinya terkurung. Dia masih berpikir istrinya masih hidup. Namun, terjebak di dimensi lain.
Pletak!
“Aduh…” suara mengaduh terdengar dari balik rak buku.
“Siapa di situ?”
“Maaf.Saya ketiduran di sini. Buku itu?” Zetta penasaran kenapa laki-laki ini tertarik dengan buku yang digenggam Zetta.
“Kau bukan dari kota ini?” tanya laki-laki itu.
Zetta terdiam cukup lama. Suara langkah kaki yang begitu keras mendekati ruang 49.
“Zetta! Apa kau di sini?” seru Mikan. Matanya bersitatap dengan laki-laki itu.
“Ayah…”
Zetta memandang Mikan lalu berbalik memandang laki-laki itu.
“Dia temanmu, Mikan?” tanya Ayahnya. Mikan hanya mengangguk. Lalu, mau beranjak pergi sambil membawa buku Dimensi Kubus.
“Buku itu?” seru Mikan.
“Buku ini.”Ayahnya heran karena anaknya tertarik dengan buku itu.
“Buku itu adalah kunci kenapa aku bisa di sini,” ucap Zetta.
Ayah Mikan mengernyit.
***
“Zaman ini sepertinya belum bisa menerima teknologi canggih ini, Profesor. Akankah dirimu mengorbankan anak laki-lakimu.”
“Dia hanya anak imaginer. Aku hanya ingin menemukan putriku di lembaran-lembaran buku itu, Dia terkunci dan terpenjara di sana selama belasan tahun,” ucapnya.
Sebuah buku elektronik diletakkan di atas panggung kecil menyerupai altar. Profesor memberikan rangsangan gelombang elektromagnetik yang begitu kuat. Lembaran buku itu terbuka tepat pada sebuah gambar gedung tinggi bercahaya. Cahayanya keluar menandingi matahari.Putih.
Seorang gadis kecil berdiri tepat di samping buku itu. Dia kelihatan kebingungan.
“Amelia….” Profesor berlari dan memeluk gadis itu.
“Anda siapa?” ucap polos gadis itu.
Sang professor melepas pelukannya. Dia menatap gadis itu secara cermat. Mengamati dan dia merasa tidak melakukan kesalahan.
“Kau Amelia bukan?” tanya profesor meyakinkan. Gadis kecil itu bergeleng.
“Amelia nama ibuku. Dan kini dia terkurung di dimensi kubus.Aku dan ayah berusaha mencari pintu untuk memasuki dimensi kubus.Oh iya, Zetta juga membantu kami.”
“Zetta?” Gadis kecil itu mengangguk.
***

Buku-buku bertebaran di lantai. Ruang 49 terlihat sangat rusak dan berantakan.
“Mikan, Mikan…,” panggil sang ayah. Dia tidak menemukan anaknya di ruangan itu.
“Zetta?” Dia melihat anak laki-laki itu menjadi sebuah hologram. Tubuhnya transparan.
“Tugasku telah selesai di sini. Semua sudah kembali pada tempatnya. Amelia sama dengan Mikan. Kau tidak pernah memiliki istri atau anak. Mereka adalah satu. Dan kini saatnya cerita dalam buku yang tidak seharusnya ada diakhiri, master dimensi kubus. Ruangmu di sini tidak boleh melewati batas. Buku dimensi kubus akan lenyap bersamaan denganku.”
“Tidakkkkkk!” Teriak laki-laki separuh baya itu berusaha meraih buku dimensi kubus yang mulai menghilang.
***
Sepoi angin memainkan rambut anak laki-laki itu. Dia tertidur di rerumputan, padang rumput di belakang rumahnya. Dia memeluk erat sebuah buku berjudul Dimensi Kubus.
“Zetta.” Seorang perempuan dewasa memanggilnya lembut. Duduk di sampingya. Mengusap keningnya.
“Apa kau tertidur?”
“Ibu, kau di sini? Baru saja aku memasuki dunia di mana buku adalah barang antik. Menakjubkan, tetapi entah kenapa juga terasa menyedihkan.” Perempuan itu tersenyum.
“Suatu hari mungkin hal itu bisa terjadi di dunia ini. Ketika buku mulai dilupakan saat itulah buku mulai menjadi barang antik yang hanya menjadi pajangan di ruangan. Orang-orang tidak peduli makna dan manfaatnya. Hanya kebanggaan semu memiliki buku langka dari zaman dinasty.“
TAMAT

Gimana..gimana? Setelah baca ada komentar? Fantasi ya kisahnya...kadang pikiranku emang suka terdampar di dimensi lain. Jadi, beginilah hasil cerita-cerita yang lahir dari otak aku....

1 komentar:

  1. Akhirnyaa.... Setelah sekian lama kau kembali hidup dalam dunia blogmu... Hihihi
    Saya ga ngerti dengan dimensi yang kau ciptakan windra.. Heheheh

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.